Pantai Akkarena
merupakan destinasi wisata bahari yang berada di pesisir wilayah Tanjung Bunga, Makassar. Nama Akkarena berasal dari bahasa Makassar yang berarti bermain, karena lokasinya menjadi destinasi berlibur. Pantai Akkarena dibuka untuk umum sejak tahun 1998 dengan luas 10 hektare. Tak hanya menawarkan keindahan pantai, wisatawan dapat menikmati berbagai watersport hingga cafe-cafe unik. Pantai Akkarena setiap harinya dikunjungi ratusan wisatawan yang ingin menikmati keindahan pantainya. Pada hari-hari libur, jumlahnya mencapai ribuan orang dari berbagai daerah di Indonesia maupun mancanegara.
Gemuruh ombak, semilir angin menghempas mewarnai suasana di bibir Pantai Akarena. Eksotisme pantai ini menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Pantai Akkarena relatif bersih dan terawat dengan baik. Suasananya tenang, damai, dan nyaman untuk bersantai menikmati keindahan pesisir. Pantai Akkarena merupakan pantai berpasir hitam yang mempesona sebagai pilihan bersantai bersama keluarga. Pantai ini dilengkapi berbagai arena bermain anak-anak seperti jungkat-jungkit, ayunan maupun papan luncur. Baru baru ini, pihak pengelola menyediakan fasilitas WiFi gratis demi kenyamanan wisatawan
Pantai Losari
(Makassar: ᨄᨈᨕᨗ ᨒᨚᨔᨑᨗ) adalah sebuah pantai yang terletak di sebelah barat Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Pantai ini menjadi tempat bagi warga Makassar
untuk menghabiskan waktu pada pagi, sore, dan malam hari menikmati pemandangan matahari tenggelam yang sangat indah.[1] Jarak Pantai Losari dari Bandar Udara
Internasional Sultan Hasanuddin kurang lebih 20 kilometer memakan waktu
sekitar 30 menit jika melalui Jalan Tol Insinyur Sutami. pantai ini dikenal dengan pusat makanan laut dan
ikan bakar di malam hari (karena para penjual dan pedagang hanya beroperasi
pada malam hari), serta disebut-sebut sebagai warung terpanjang
di dunia (karena warung-warung tenda berjejer di sepanjang pantai yang
panjangnya kurang lebih satu kilometer).[2] Salah
satu penganan khas Makassar yang dijajak di warung-warung tenda itu
adalah pisang epe (pisang mentah yang dibakar, kemudian dibuat
pipih, dan dicampur dengan air gula merah) Paling enak dimakan saat masih
hangat dengan berbagai topping diatasnya seperti parutan keju, selai stroberi,
dll.
Saat
ini warung-warung tenda yang menjajakan makanan laut tersebut telah dipindahkan
pada sebuah tempat di depan rumah jabatan Wali kota Makassar
yang juga masih berada di sekitar Pantai Losari
Setiap
hari Minggu, masyarakat dapat menikmati hari bebas kendaraan bermotor sampai
jam sepuluh pagi. Kegiatan utama yang dilakukan adalah olahraga lari dan sepeda,
yang biasanya dilanjutkan dengan sarapan bubur ayam, baroncong,
atau nasi kuning. Pada sore hari, semua orang bisa menikmati proses
atau detik-detik tenggelamnya matahari. Memasuki waktu malam akan semakin
banyak penjual makanan yang berjejer di sepanjang pantai, khususnya penjual
pisang epe.
Pantai ini juga selalu menjadi titik kumpul masyarakat Makassar pada malam perayaan tahun baru untuk menyaksikan kembang api.Tahun 2006 pantai Losari tampil dengan wajah baru, dengan nama ikon: "Pelataran bahari". Ini menambah ikon baru bagi Makassar.
Benteng Fort Rotterdam
Benteng Fort Rotterdam merupakan peninggalan
sejarah dari Kerajaan Gowa-Tallo yang terletak di pinggir pantai sebelah barat
Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada 1545 oleh Raja Gowa
ke-10 yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung dengan gelar Karaeng
Tunipalangga Ulaweng. Pada awalnya, benteng ini berbentuk segi empat seperti
ciri khas benteng Portugis. Namun, ketika Kerajaan Gowa-Tallo menyerah setelah
menandatangani Perjanjian Bongaya pada abad ke-17, Benteng Fort Rotterdam jatuh
ke tangan Belanda dan dibangun kembali oleh VOC menjadi seperti sekarang ini.
Penyerahan ini adalah bagian dari Perjanjian
Bongaya yang terpaksa ditandatangani Sultan Hasanuddin setelah kalah dalam
Perang Makassar. Setelah jatuh ke tangan Belanda, Benteng Ujung Pandang
kemudian diganti namanya menjadi Benteng Fort Rotterdam, sesuai nama kelahiran
Speelman. Speelman kemudian membangun kembali benteng yang sebagian bangunannya
telah hancur dengan gaya arsitektur Belanda. Sejak saat itu, Benteng Fort
Rotterdam menjadi pusat kekuasaan kolonial Belanda di Sulawesi.